Mencoba Menulis Lagi

Entah sudah berapa lama jari ini tidak memijat-mijat tuts keyboard untuk menuangkan pikiran ke dalam sebuah tulisan. Nyaris setahun silamm tulisan terakhir di blog ini tayang. 

Dalam hal tulis menulis, sebetulnya gak benar-benar berhenti juga sih. Walaupun memang intensitasnya sudah jarang sekali. Belakangan ini, paling hanya menulis singkat di sosial media. Itu juga hanya menanggapi berita-berita yang saya rasa penting untuk dikomentari.

Beberapa hari terakhir terngiang bisikan-bisikan untuk mulai menulis lagi. Saat ini ada dua platform yang saya rencanakan untuk menuangkan pikiran. 

Pertama, blog wordpress ini sebagai wadah untuk menulis pikiran-pikiran random di dalam kepala. 

Kedua, Medium sebagai wadah untuk menulis terkait dengan karir saya saat ini, yaitu UX Designer. 

Untuk menghancurkan mental block dalam menulis, mari dimulai melalui tulisan yang ringan, receh dan gak penting ini.

Bekerja Sesuai Passion? 

Oke, pada kesempatan ini saya ingin menulis secara singkat tentang karir saya sejauh ini. Ya, gak penting sih memang. Saya bukan lagi seorang pengusaha kuliner. Usaha itu terpaksa tutup setelah dihantam keras oleh pandemi. 

Usia yang gak lagi muda membuat saya gak bisa mengambil risiko yang terlalu besar, seperti membuka usaha sendiri. Akhirnya, saya melamar pekerjaan sebagai content writer

Jalan tersebut diambil tanpa banyak pertimbangan. Sebab, itu adalah satu-satunya jalan untuk memulai karir. Bagaimana nggak, usia sudah melewati ambang batas fresh graduate, tapi belum punya pengalaman bekerja sama sekali.

Beruntung hobi saya menulis ternyata mampu menolong di saat itu. Saya memiliki cukup banyak portfolio dalam hal menulis. Termasuk juga beberapa tulisan yang pernah terbit di media daring. Inilah yang menjadi modal dalam melamar pekerjaan.

Banyak kata-kata bijak yang berkata: 

“Cintailah pekerjaanmu, maka kamu tidak akan merasa bekerja sepanjang hidupmu.” 

Saya kira, gak sedikit dari kalian yang pernah membaca kutipan bijak tersebut. Entah siapa yang menulis, saya juga lupa.

Nah, ketika mendapat pekerjaan sebagai content writer, saya merasa akan menjalani pekerjaan dengan gembira. Menulis adalah passion saya! Sudah pasti saya akan menikmati pekerjaan dengan sepenuh hati! 

Namun, kenyataan berkata lain. Meskipun saya sangat mencintai dunia tulis-menulis, tapi ternyata yang namanya bekerja tetaplah bekerja. Setelah menjalani beberapa bulan, saya merasa cukup tersiksa ketika harus menulis artikel. 

Saya tahu betul alasan mengapa saya tersiksa. Singkatnya, karena saya harus menulis artikel yang sebetulnya gak saya sukai. Memang gak begitu sulit sih ketika menuliskannya. Tapi, tetap saja ada perasaan gak enak. 

Mungkin, hobi saya adalah menulis tulisan dengan tema-tema yang kurang umum, seperti agama, sains, sejarah bahkan filsafat. Sedangkan, di dalam pekerjaan saya harus menuliskan topik seperti:

  1. Cara Efektif untuk Menabung
  2. 10 Instrumen Investasi Terbaik
  3. 5 Orang Terkaya di Indonesia
  4. Tips Tetap Produktif Saat WFH
  5. dan lain sebagainya….

Ini jelas bukan topik yang saya sukai ketika menulis. Dan, saya jadi terpaksa untuk menuliskannya karena tuntutan pekerjaan. Hal inilah yang menjadi faktor terbesar kenapa saya jadi malas menulis belakangan ini. 

Jadi, walaupun bisa dibilang menulis adalah passion, tapi seketika hal itu menghilang ketika dijadikan sebagai sebuah profesi. Saya masih ingin menulis, tapi gak mau lagi menjadi content writer dengan artikel-artikel receh seperti di atas. 

Terdengar sombong memang, tapi itulah yang saya rasakan. Saya ingin kembali menjadi penulis yang menulis topik-topik yang saya inginkan. Ya, menjadi kolumnis di beberapa media online seperti dulu. Sepertinya cukup menyenangkan walaupun bayarannya kurang menggiurkan. 

Pindah Haluan Karir

Pada awalnya, saya memang gak pernah terpikir untuk menjadi content writer. Sejujurnya, itu adalah keterpaksaan untuk survival mode. Apalagi, di dunia pekerjaan, content writer adalah bagian dari Marketing. 

Kalau diperas lagi, berarti saya harus menulis entah bagaimana caranya untuk menarik perhatian orang agar membeli produk yang ditawarkan oleh tempat saya bekerja. Bukankah itu inti dari Marketing? 

Singkat cerita, setelah setahun bekerja di dunia Marketing, saya menawarkan diri untuk menjadi UX Designer di tempat saya bekerja. Dan, beruntungnya tempat saya bekerja memberikan kesempatan tersebut. 

Gak banyak kantor yang berani memberikan kesempatan pada karyawannya untuk mencoba hal yang baru. Sekali lagi, saya menghaturkan terima kasih yang sebesar-besarnya pada tempat saya bekerja. 

Kenapa UX Designer?

UX adalah akronim dari User Experience. Singkatnya, intisari dari UX adalah bagaimana membuat teknologi dalam sebuah produk menjadi ramah sehingga mudah digunakan oleh user.  

Sejak kecil, saya sangat menyukai teknologi. Oleh karena itu, saya cukup bersemangat untuk memulai karir ini. Baca artikel kanan-kiri, menonton YouTube tentang UX hingga mengikuti kursus profesional soal UX. 

Jika mau dibedah lebih dalam, UX adalah interseksi dari teknologi, desain, seni dan psikologi. Saya merasa memiliki modal yang baik dalam hal teknologi dan psikologi. 

Seperti yang mungkin pembaca sudah tahu, saya sangat menyukai kajian soal manusia. Buku-buku tentang manusia dari berbagai sudut pandang saya lahap habis dengan kegembiraan. 

Sebut saja, Sapiens dari Yuval Harari, Third Chimpanzee dari Jared Diamond, Selfish Gene dari Richard Dawkins, Humankind dari Rutger Bregman, The Gene dari Siddhartha Mukherjee dan lain sebagainya. 

Belum lagi buku-buku psikologi seperti Thinking Fast & Slow dari Daniel Kahneman, Mindset dari Carol Dweck hingga buku klasik dari Erich Fromm, Sigmund Freud, Friedrich Nietzsche dan seterusnya. 

Meskipun memiliki modal yang cukup baik, saya juga masih menghadapi beberapa kesulitan, khususnya dalam bidang desain dan estetika. Namun, sampai saat ini saya masih sangat semangat untuk belajar, entah itu dari baca-baca artikel di Medium ataupun nonton tutorial di YouTube, 

Terkadang, saya merasa sudah cukup mahir dalam bidang ini. Tetapi, tiba-tiba teringat teori dari Dunning-Kruger Effect. Intinya, orang yang baru tahu sedikit biasanya merasa paling tahu. 

Saya paham betul bahwa yang saya pelajari di dunia UX masih sangat sedikit meskipun merasa sudah cukup banyak membaca. Tapi, pada prakteknya saya baru belajar belum sampai setahun. 

Untuk menghindari Dunning-Kruger Effect, saya juga membaca buku yang membahas fundamental UX. Karena, apapun ilmunya, fundamental adalah hal yang sangat penting. 

Saat ini saya sedang membaca buku “Don’t Make Me Think” karangan Steve Krug, setelah sebelumnya mengkhatamkan kitab sucinya dunia UX, yaitu “The Design of Everyday Things” karangan dari Bapak UX, Don Norman. 

Penutup

Padahal di awal tulisan saya sudah merencanakan bahwa tulisan-tulisan yang berbau karir akan diposting di Medium, tapi kok malah diposting di sini? Tak apalah sebagai permulaan untuk mulai menulis lagi.

Memulai kebiasaan baik merupakan hal yang sulit. Jika merujuk pada buku Atomic Habits, kebiasaan itu harus dimulai dari hal-hal kecil. Nah, tulisan singkat nan receh ini dituliskan untuk memenuhi tujuan itu. 

Mari memulai menulis lagi!

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.