Di Ujung Tahun: Mengevaluasi Diri yang Merasakan dan Diri yang Bercerita

31 Desember, hari terakhir di tahun 2023. Menagih janji yang pernah diucapkan pada diri sendiri, menulis di blog ini minimal banget, setahun sekali. 

Menuangkan pikiran abstrak ke dalam secarik kertas di layar digital, sebuah rutinitas yang sudah cukup lama saya tinggalkan. Dulu, aktivitas ini seringkali menjadi pelarian dari hiruk-pikuk kehidupan yang memenatkan. 

Menulis seringkali menjadi media untuk introspeksi, refleksi dan evaluasi. Membuat ide menjadi setengah nyata, tampil sebagai tulisan yang bisa dibaca ulang dan membuat pertarungan sendiri di dalam kepala.

Oke, pada tulisan ini saya ingin kembali bernostalgia dengan mencoba ulang aktivitas tersebut. Menulis untuk introspeksi, refleksi dan evaluasi. Kebetulan tepat di akhir tahun, di mana biasanya orang-orang melakukan kegiatan ini. 

Introspeksi, Refleksi dan Evaluasi 

Sebenarnya, apa sih perbedaan dari ketiga kata di sub-judul ini? Kok, rasa-rasanya ketiganya memiliki definisi yang mirip-mirip. 

Ini tahun 2023, teknologi yang bernama Artificial Intelligence atau Kecerdasan Buatan sudah merajalela, terutama ChatGPT. Berikut beberapa definisi singkat menurut ChatGPT:

  • Introspeksi: Proses mengeksplorasi pikiran dan perasaan sendiri. Ini lebih tentang pemahaman diri dan kesadaran internal.
  • Refleksi: Proses memikirkan kembali pengalaman atau pengetahuan yang sudah ada. Ini sering kali mencakup penilaian tentang apa yang telah dipelajari atau bagaimana suatu pengalaman mempengaruhi seseorang.
  • Evaluasi: Proses menilai atau membuat penilaian tentang sesuatu, biasanya dengan tujuan membuat keputusan atau memberikan umpan balik.

Meskipun ketiganya tampak berbeda, namun ada benang merah yang bisa disambungkan. Benang merah yang menghubungkan introspeksi, refleksi, dan evaluasi adalah proses berpikir kritis dan pengembangan diri atau situasi. Ketiganya melibatkan analisis yang mendalam dan perenungan tentang konsep diri sendiri. 

Nah, ada hal yang menarik banget tentang diri sendiri. Maksudnya bukan saya, tapi tentang konsep diri. Di dalam buku “Thinking Fast and Slow” karya Daniel Kahneman, beliau menemukan ternyata manusia pada umumnya memiliki dua konsep diri.

Dua Konsep Diri

Temuan dua konsep diri diperoleh bukan hanya dari perenungan atau pemikiran seperti seorang filsuf. Bukan. Daniel Kahneman adalah seorang psikolog handal yang meraih Nobel Ekonomi di tahun 2002. Dia menemukan dua konsep diri ini melalui eksperimen dan penelitian yang panjang. 

Singkat cerita, menurut Kahneman, ada dua konsep diri yang dimiliki manusia:

  1. Diri yang Merasakan (Experiencing Self):
    • Ini tentang pengalaman secara langsung dan real-time. Jadi, pas loe lagi ngerasain sesuatu, itu adalah ‘diri yang merasakan’.
    • Contoh: Loe lagi makan pizza yang enak banget. Rasa pizza itu, hangatnya, dan gimana perasaan lo saat itu, itu semua bagian dari ‘Experiencing Self’.
    • ‘Experiencing Self’ ini fokusnya di momen itu, gak peduli apakah itu bakal jadi memori bagus atau enggak di masa depan.
  2. Diri yang Bercerita (Remembering Self):
    • Ini yang ngatur gimana loe mengingat pengalaman loe dan gimana loe menceritakannya.
    • Contoh: Loe inget liburan ke pantai tahun lalu. Loe gak inget setiap detilnya, tapi loe inget momen-momen tertentu, kayak sunset yang indah atau gimana rasanya pas lo lagi santai.
    • ‘Remembering Self‘ ini bisa ngubah pandangan lo tentang pengalaman itu. Kadang, loe bisa lebih inget ke momen-momen tertentu yang menonjol daripada keseluruhan pengalaman.

Ini cuma contoh kasus yang di-generate ChatGPT aja ya, saya cukup malas untuk membuka bukunya dan melihat contoh kasus dari eksperimen yang dilakukan Daniel Kahneman. 

Tapi, menurut memori saya yang pendek ini, eksperimen tersebut benar-benar mind-blown. Cukup mengherankan dan membagongkan. Silakan baca sendiri, bukunya luar biasa bagus dan sangat menggugah.

Lantas, apa hubungannya dua konsep diri ini sama introspeksi, refleksi dan evaluasi? Oke, mari kita ulas!

Konsep Diri dan Realitas Sosial

Nah, yang menurut saya menarik dari teori Kahneman ini adalah ketika dihubungkan dengan kenyataan yang ada. Kita semua tahu bahwa manusia merupakan makhluk sosial yang hidup di dalam stratifikasi sosial yang berjenjang. 

Gampangnya, kita semua memiliki status sosial. Dan, semua dari kita secara gak sadar berupaya untuk memanjat stratifikasi sosial tersebut agar bisa berada pada status sosial tertinggi.

Pokoknya iya aja deh, kalo loe gak mengakui, berarti lagi denial aja. Atau, loe emang varian yang super jarang.

Kenapa kita semua mau berada pada status sosial tertinggi? Karena, posisi itu menjanjikan resource yang super banyak dan menjamin survivabilitas anak-cucu. Jadi, emang gen-gen di dalam tubuh memanipulasi ke arah sana.

Biar gak ngebahas evolusi terlalu dalam, udah gini aja dulu ya. Kita kembaliin ke topik tadi tentang Remembering Self dan Experiencing Self.

Setiap dari kita memiliki bayangan tentang konsep diri ideal. Nah, bayangan diri yang ideal ini adalah hasil bentukan dari Remembering Self. Semua konsep dari ego, harga diri dan segala macamnya berasal dari diri loe yang ini.

Kalo misalnya ada yang menghardik, mengejek atau bahkan menghina dan loe kesel dan marah, itu biasanya karena ejekan tersebut menodai bayangan diri loe yang ideal. Entah ego terlukai, harga diri ternodai dan lain sebagainya.

Kita semua mau orang lain melihat diri kita yang ideal. Kenapa begitu? Sebab, kita berkeinginan untuk duduk di tangga tertinggi status sosial tadi. Jadi, kalo ada yang mengejek, secara gak sadar kita merasa bahwa orang tersebut berusaha menjatuhkan kita dari tangga sosial tersebut. 

Sebetulnya gak sesederhana ini juga. Ada yang namanya social rejection yang secara instingtif berusaha kita hindari. Tapi, kurang lebih seperti itu lah mekanisme yang terjadi dalam interaksi diri sendiri dan lingkungan sosial.

Namun, itu semua terjadi di dalam alam pikiran kita. Semua hanya asumsi. Apakah kita bisa yakin bahwa semua orang menyukai dan memberikan perhatian lebih pada konsep diri ideal kita?

Justru, saya merasa bahwa konsep diri ideal yang dibentuk dari Remembering Self ini berpotensi besar menjadi sumber penderitaan. Kenapa? Sebab, semakin jauh konsep diri ideal dari realitasnya atau Experiencing Self, makin pedih siksaan yang dirasakan. 

Jika diri kita yang ideal ini memiliki jarak yang terlalu jauh dengan kondisi saat ini, maka kita akan tercerabut dari diri kita sendiri. Tanpa disadari, kita akan berusaha keras agar diri kita yang sebenarnya ini gak dilihat orang lain.

Kita jadi memiliki ketakutan berlebih. Membangun benteng pertahanan yang semakin kokoh agar Experiencing Self tidak dilihat orang lain. Kita bangun benteng pertahanan itu dengan mengarang cerita yang hebat-hebat tentang diri yang ideal.

Semua kita lakukan agar konsep ideal, ego dan harga diri kita ini gak ternodai. Berupaya sedemikian rupa merajut cerita agar orang-orang sekitar menganggap kita tetap ideal. Berusaha keras mempertahankan posisi status sosial di dalam pertempuran kelas.

Experiencing Self & Remembering Self

Lalu, Bagaimana?

Berdasarkan observasi kecil-kecilan yang saya lakukan, ternyata hal ini sering terjadi di realitas sehari-hari. Terus, gimana kalo sudah kepalang seperti itu?

Jawabannya sangat klise. Ya, berdamai dengan diri sendiri. 

Sebetulnya, cerita yang hebat-hebat tentang diri sendiri, konsep ego, harga diri dan semacamnya itu sia-sia. Hanya membuat energi. Diri kita yang ideal itu gak ada. Itu hanyalah fantasi dan khayalan tentang diri sendiri. 

Sebuah ekspektasi fana tentang gambaran diri kita di dalam persepsi orang lain.

Cobalah berdamai dengan diri sendiri. Melakukan introspeksi, refleksi dan evaluasi tentang apa yang benar-benar terjadi. Menyadari kondisi diri sendiri dan menerima apa adanya. Untuk apa berupaya keras mempertahankan ego dan harga diri? Apa yang bisa dibeli dengan harga diri?

Mari kita ke contoh kasus yang sering terjadi. Misal, kondisi sebenarnya kita gak mampu secara ekonomi untuk pergi hangout dengan teman-teman. Terus, banyak dari kita yang memaksakan diri dengan pinjam uang dan lain sebagainya agar bisa tetap pergi. 

Semestinya, kita bilang aja: “Duh, gua lagi gak ada duit nih. Gak ikut dulu, ya.” Tapi, gak semudah itu kan? Ada perasaan FOMO, malu dan lain sebagainya you name it.

Nah, pada momen ini, Remembering Self sedang merangkul kata untuk memberikan gambaran ke diri sendiri bagaimana opini orang lain tentang diri kita. Tapi, ini semua hanya asumsi. Belum tentu akurat. Dan, memang seringnya gak tepat.

Lebih baik kita bersandar ke Experiencing Self yang benar-benar merasakan momen saat ini. Melihat kondisi sebenarnya tentang diri sendiri daripada harus memberi makan ego untuk dilihat keren oleh orang lain. 

Di era yang katanya cukup concern dengan mental health. Menurut saya, hal ini penting untuk dipraktekkan sehari-hari. Kondisi mental itu penting karena dampaknya bisa kemana-mana. Bahkan, beberapa penelitian mengatakan kondisi mental itu erat hubungannya dengan panjang umurnya seseorang.

Kalo cuma merugikan diri sendiri sih oke, tapi kalo sampai menyusahkan orang lain kan kacau banget. Coba deh berdamai dan bersahabat dengan diri sendiri. Coba melihat kondisi sebenarnya. Selami dalam-dalam diri sendiri dan sedikit tinggalkan fantasi dan dunia ideal. 

Trust me, hidup seperti ini jauh lebih menenangkan!

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.