Apakah Kita Benar-Benar Merdeka?

Tepat 77 tahun yang lalu di jam-jam segini, tengah malam menuju dini hari, mungkin para “Founding Fathers” Republik Indonesia sedang gelisah dan gundah gulana. Bagaimana tidak, mereka yang tergabung sebagai anggota PPKI (Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia) sedang mempersiapkan kerangka konstitusi untuk Republik yang baru saja merdeka ini.

Rapat sudah berjalan sejak 18 Agustus pagi hari. Pada detik ini di 77 tahun yang lalu, sudah banyak keputusan krusial yang lahir untuk Indonesia. Ada yang senang, ada pula yang kecewa. Namun, mereka masih tetap harus berjuang di keesokan harinya karena pra-syarat regulasi untuk berdirinya sebuah Republik belum rampung pada 18 Agustus 1945. 

Kilas Balik Hari Ini

Cerita tentang 77 tahun yang lalu mungkin bisa dibaca di mana-mana. Jadi saya sudahi saja ya pembahasannya. 

Fast forward ke hari ini, atmosfer peringatan hari kemerdekaan pada 17 Agustus jauh berbeda dengan kondisi “Founding Fathers” Indonesia. Kala itu, kemerdekaan dirayakan dengan diskusi alot soal ideologi, perdebatan panas, adu urat bahkan ada juga yang bertaruh darah untuk menjadikan Indonesia sesuai dengan versi-nya sendiri.

Ya gak apa-apa juga sih. Toh, kita sudah merdeka. Masak kita masih harus repot-repot berpikir keras saat memperingati hari kemerdekaan? Kalau masih begitu, itu namanya tidak menghargai jasa para pendiri bangsa. Mereka kan berjuang mati-matian untuk melihat anak cucunya berbahagia. 

Nah, kita-lah anak cucu yang dimaksudkan pendiri bangsa itu! Sudah sewajarnya kita merayakan kemerdekaan dengan meriah, ceria dan penuh gelak tawa dari peserta lomba yang lucu-lucu. 

Saya saja gak habis-habis menertawakan meme-meme lucu tentang peserta lomba yang viral di media sosial. Dari anak kecil yang enggan bergerak untuk menghabiskan kerupuk yang di gantung di depan wajahnya hingga peserta didik dengan mata tertutup yang memaksa memasukkan roti ke mulut ibu-nya 🤣🤣.

Menulis Soal Kemerdekaan

Berbicara soal kemerdekaan, saya pernah beberapa kali menuliskan artikel tentang kemerdekaan. Ada yang bercerita sedikit tentang sejarah kemerdekaan Indonesia dan kaitannya dengan kebebasan berkeyakinan, ada juga yang menekankan tentang pentingnya kemerdekaan berpikir dan kaitannya dengan kemajuan sebuah bangsa.

Belum lagi tulisan-tulisan yang tayang di media daring. Tapi, saya terlalu malas untuk mencarinya. Jadi, tulisan yang ada di blog ini saja yang dibahas. Menariknya,tulisan tersebut masing-masing ditulis pada 8 tahun dan 6 tahun yang lalu. 

Membaca tulisan lama membuat saya menyunggihkan sedikit senyum picik sambil berkata dalam hati: “Sok tahu amat ini anak kecil, ya!” 

Namun, ada perasaan bangga juga ketika membaca tulisan itu. Ternyata saya pernah se-idealis dan se-kerdil itu dalam memandang dunia. Memang benar kata Tan Malaka:

“Idealisme adalah kemewahan terakhir yang hanya dimiliki oleh pemuda.”

Tan Malaka

Masih terasa betul aroma idealisme dalam tulisan tersebut. Bagaimana saya begitu berapi-api mengajak orang banyak untuk mengenal sejarah dan berdaulat dalam berpikir.

Masalah dan Kemerdekaan

Seiring dengan semakin bertambahnya usia dan pengalaman, saya jadi berpikir ulang tentang apa itu kemerdekaan. Bagaimana tidak? Semakin tua, kita memiliki semakin banyak tanggung jawab. Oleh karena itu semakin banyak pula masalah yang perlu dihadapi. 

Memikirkan semua masalah secara bersamaan membuat otak terasa ingin tumpah dan membanjiri batok kepala. Tubuh juga terasa bereaksi terhadap pikiran secara langsung.

Tiba-tiba keluar keringat dingin, telapak tangan menjadi basah, napas terengah-engah, jantung berdegup kencang dan lain sebagainya. Ya, memang menurut neurosains apa yang kita pikirkan di dalam otak, lebih tepatnya di bagian neo-korteks dapat mempengaruhi amygdala (bagian otak yang mengatur emosi). Lalu, amygdala mempengaruhi batang otak (bagian otak yang mengatur gerak refleks). 

Kurang lebih begitulah cara kerja otak dan pikiran kita. Seharusnya bukan kurang lebih sih, karena jauh lebih banyak kurangnya. Tidak sesederhana itu dalam memahami cara kerja otak dan pikiran. 

Bahkan, sampai hari ini pun sepertinya belum ada satu orang pun yang berani mengklaim bahwa dia mampu memahami 100% cara kerja otak dan pikiran. Kalau ada, dia pasti orang gila. Jangan percaya orang seperti itu. Serius.

Kembali ke apa yang terjadi saat kita sedang memikirkan masalah. Kenapa kita tidak bisa mengontrol diri sendiri secara sadar? Lalu, apakah kita benar-benar merdeka terhadap diri ini?

Menghayati Kemerdekaan

Sebagai seorang rasionalis yang memiliki lumayan referensi bacaan, tentunya saya adalah tipikal orang yang menghadapi masalah dengan logis. Namun, ada kalanya karena tingkat stres yang tinggi, kita jadi kehilangan kemampuan berpikir logis sehingga tidak mampu untuk memecahkan masalah dengan akurat.

Tidak jarang juga ditemukan masalah yang memang tidak ada solusinya selain menunggu waktu. Inilah permasalahan yang cukup kompleks dan seringkali mengganggu kesehatan mental seseorang. 

Beruntungnya, saya memiliki cukup referensi untuk mengatasi masalah. Salah satunya adalah dengan metode berpikir ala stoisisme yang populer belakangan ini. Aliran stoisisme ini lumayan membantu untuk meredakan stress. Tapi, stoik tidak membantu dalam pemecahan masalah. 

Tapi, dari aliran stoisisme saya belajar untuk mengalihkan pikiran dan fokus pada apa yang terjadi saat ini. 

Misal, masalah yang sedang saya hadapi ini luar biasa besar. Saya akan terus berpikir tentang masalah tersebut. Dan, lama kelamaan masalah tersebut terasa semakin besar. Alhasil, stres semakin menjadi-jadi dan saya jadi tidak bisa berpikir logis untuk memecahkan masalah tersebut. 

Ya, ini seperti lingkaran setan yang tidak ada habisnya. 

Nah, dari metode stoik, saya belajar untuk tidak selalu memberikan perhatian pada pikiran. Karena jika saya memperhatikan pikiran, maka yang terbayang dalam benak adalah masalah yang itu-itu lagi. 

Saya jadi berpikir, kalau kita bisa membagi perhatian pada pikiran dan memilih pikiran mana yang harus diperhatikan, lalu siapa yang mengendalikan pikiran? Dari mana datangnya pikiran itu?

Lalu, siapa pula yang punya kehendak untuk mengendalikan perhatian ini harus diarahkan ke pikiran yang mana?

Oke, pelan-pelan saya coba kebijaksanaan kuno yang terdapat di semua agama: mengosongkan pikiran. Aktivitas ini memiliki beragam nama di banyak agama. Ada yang menyebutnya meditasi, dzikir, yoga dan lain sebagainya. 

Semuanya memiliki esensi yang sama: mengosongkan pikiran untuk menemukan keluasan dan keleluasaan. Seperti kata guru Tom Sang Cong di film Kera Sakti: 

“Kosong adalah isi, isi adalah kosong.”

Seketika itu juga pikiran datang bertubi-tubi menyerang diri ini yang berusaha mengosongkan pikiran. 

Lalu, siapa yang mengendalikan datangnya pikiran-pikiran itu? 

Saya semakin berusaha keras untuk menendang pikiran-pikiran itu masuk ke dalam benak. 

Lalu, saya berupaya mengamati diri yang berusaha semakin keras untuk menendang pikiran-pikiran. 

Oke, ini jadi mirip film Inception yang memiliki kesadaran berlapis-lapis. Tapi, saya rasa pikiran kita benar seperti itu adanya. Sebab, saya bisa mengamati pikiran yang sedang adu jotos dengan pikiran lain. 

Lalu, siapa yang berkehendak pada pikiran yang mengamati ini? 

Jujur saja, terkadang saya pusing memikirkan hal-hal semacam ini. Tapi, percayalah, ketika sedang dalam masalah, coba amati pikiran yang sedang memikirkan masalah itu. Lama kelamaan, masalah itu jadi semakin jauh dari diri dan tidak mempengaruhi kita secara psikis dan fisik.

Setelah sampai di tahap ini, maka kita bisa berpikir lebih objektif dan menyelesaikan masalah dengan lebih jernih. Ya, terkadang kita memang jago dan objektif terhadap hal-hal yang jauh dari diri. 

Kembali ke persoalan kesadaran berlapis. Nah, kalau kita sendiri saja tidak bisa mengontrol pikiran, apa mungkin kita bisa merdeka dalam berpikir? 

Atau kita memang bukan makhluk merdeka? Toh, banyak banget ilmuwan yang berpendapat bahwa kehendak bebas (free-will) itu hanya ilusi saja. 

Leave a comment

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.